This is my heroes

Happy or unhappy, families are all mysterious. We have only to imagine how differently we would be described - and will be, after our deaths - by each of the family members who believe they know us. Gloria Steinem

5 Cara Dapat Biaya untuk Parcel Lebaran

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Family is the most important in alive

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Family

Family is the most important in alive. This is my family, the important things in my life

Sastra Penarawa di Eling Bening, Ambarawa

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 14 Mei 2016

Fenomena Sepatu , Hitam VS Mejikuhibiniu



Fenomena Sepatu , Hitam VS Mejikuhibiniu

Kalau kita perhatikan anak-anak pulang atau berangkat sekolah. Mayoritas sepatu mereka berwarna hitam. Aturan sekolah barangkali. Tapi saya terkaget-kaget saat seorang teman sastra dari Temanggung berkisah anaknya yang duduk di bangku SMP malah sekolah pakai sandal gunung. Wah ini luarrr biasa sekali. Berarti alpine, eiger makin moncer.

                       Sumber gambar: https://lawakantentanghidup.wordpress.com
Eh tentang sandal gunung ini, saya jadi teringat jaman kuliah. Kebanyakan anak mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) memiliki sandal gunung. Namanya juga pecinta alam, nggak valid kalau nggak punya sandal gunung.
Saya sih menyebutnya sepatu sandal. Karena, kalau bagian belakangnya dilepas dan direkatkan ke depan jadi sandal semacam selop. Andai dipakai sebagaimana mestinya jadilah sepatu (yang tidak tertutup rapat). Alhasil sebagian orang menyebutnya sepatu sandal. Setengah sepatu setengah sandal, sejenis siluman. Tak masalah, kaki tetap bisa tertutupi dengan kaus kaki.
Dan, suatu decade tertentu, ada dosen yang menyentil mahasiswa (yang notabene anak mapala) yang pakai sandal gunung itu. Si mahasiswa memakai seperti sandal selop. “Di kampus, mbok ya yang sopan, ojo pakai sandal,” nasehat Pak Dosen waktu itu. Tak perlu banyak cingcong, si mahasiswa akhirnya membuka perekat selopnya, ditautkan ke belakang, jadilah sepatu sandal. Sambil meringis, dan mengangguk takjim ke sang dosen. Dosen hanya gedeg-gedeg, segera berlalu sambil tak lupa beristighfar berkali-kali.
Kembali ke sepatu hitam, kalau kita cermati, baju SD (khususnya negeri) adalah merah putih, SMP, biru putih, SMA, abu-abu putih. Itu diluar seragam khusus sekolah masing-masing. Tetapi lihatlah sepatunya, ya hitam. Kenapa nggak milih warna sepatu merah, biru, abu-abu atau putih saja, sih? Aturan, kata Mas Adji Atmoko, penulis FTV dari Baran, Ambarawa. Bayangkan kalau seragam pramuka sepatunya kuning, nggak nyambung, ya.
Hitam memang warna netral, semua orang tahu. Hitam juga warna sik medeni, bersahabat erat dengan horror. Coba diingat film almarhumah Suzanna, dikala hantu, setan, demit , pocong atau jin muncul. Kegelapanlah yang menyertai mereka. Jarang mereka diikuti warna kuning keemasan atau biru laut, hehehe.
Hitam identik juga dengan suasana berkabung. Sangat jarang orang melayat berbaju cetar membahana dengan warna mencolok bak mau kondangan. Selain dapat bisik-bisik nggak enak, bakal jadi sindiran. Terutama di desa yang masih menjunjung tinggi segala adat sopan santun.
Hebatnya lagi, ada juga sekolah yang menyediakan cat warna hitam untuk muridnya yang tak punya sepatu hitam. Bu Yanti, seorang guru dari Ambarawa membisikkan itu pada saya. Salut deh, artinya itu memudahkan dan meng-irit-kan pengeluaran orang tua murid degnan cara mengecat berjamaah.
Tapi, banyak lho yang tak memakai sepatu hitam itu melanggar aturan, ujung-ujungnya dianggap anak nakal. Dihitung pakai rumus aljabar atau fisika kuantum-pun, tak bakal nemu kalau sepatu hitam ini dikohesikan dengan anak nakal. Lha opo hubungane? Toh, orang bertato dan gondrongpun belum tentu preman. Orang berpeci dan bersarungpun belum tentu alim.
Jadi, kalau ada anak sekolah hari Senin nggak  pakai sepatu hitam jangan lantas digosipkan sebagai anak nakal, nggak manut aturan. Berhusnudhonlah, bisa jadi sepatu hitam polosnya masih belum kering karena Ahad-nya dicuci dan hujan deras seharian. Atau sepatu hitamnya sedang dipinjam tetangga.
Penulis puluhan antologi dan pemenang berbagai even kepenulisan, Arinda bilang, kalau anaknya yang masih TK sepatunya boleh warna warni. Mejikuhibiniu, belang-belang, dong, hihihi. Ah, untuk anak TK apa sih yang kita tak menurutinya. Anak-anak sangat butuh warna warni. Dunia bagi mereka pelangi. Bayangkan kalau hanya mengenal satu warna hitam aja, kacian…
Instruktur senam dari Semarang, Widati malah menanyakan hal yang bikin saya terkikik geli, “Gimana kalau sepatu anak sekolah kanan dan kiri berbeda, Mbak?” hahaha, saya akhirnya terbahak sendiri. Entahlah, saya tak bisa membayangkan kalau hal itu terjadi. Bisa jadi tahun depan booming, sekarang, sudah banyak sandal dengan warna “selen”.
Tapi waktu anak saya TK, saya cat rambutnya menjadi coklat marun, kena sentilan setilin dari bu gurunya, lho. Canggihnya lagi, saat alasan yang sangat logis saya beberkan dengan penuh semangat berapi-api, malah dapat cibiran emak-emak penunggu anak yang lain. Tapi kata Mas Adji, itulah bentuk mesyukuri nikmat Sang Khalik (dengan rambut berwarna hitam) dan apa adanya. Saya manggut-manggut, setuju dengan pendapat beliau ini.
Bagaimanapun, sepatu hitam memang netral, kok. Sastrawan asal Temanggung, Dini Rahmawati malah tanya: “Kok nggak warna seragamnya yang dibahas, Mbak? Toh hitam netral.” Saya manggut-manggut. “Hematnya lagi, sepatu bisa dipake dari SD sampai SMA.” Wah saya tambah mengangguk lebih dalam. “Dan kalau kekecilan bisa dilungsurke adine atau tetanggane.” Wah ini, saya angkat topi dengan ungkapannya yang bener bingit.
Lagipula ngapain ribet sih urusan sepatu hitam atau sepatu mejikuhibiniu? Biar nggak ada jurang pemisah atas dan bawah? Itu pasti. Konfliknya kan ungkapan tentang bagaimana pemerataan ekonomi sebuah planet antah berantah. Keseragaman Mas Bro. Nah lho, jadi kenapa kita harus ribet. Sepatu itu urusan kaki, kenapa dihubungkan dengan pemerataan ekonomi? Hihihi, bahasa fenomenal Gus Dur pun mencuat kembali. “Halah, gitu aja kok repot…”